Bisnis

Animal Testing, Like It or Not

Animal Testing, Mengorbankan hewan untuk kepentingan eksperimen

Animal testing atau percobaan terhadap satwa adalah penelitian dengan menggunakan satwa sebagai objek penderita. Beberapa istilah yang berkaitan dengan animal testing antara lain animal experimentation, animal research, in vivo testing, dan vivi section. Semua istilah tersebut mengacu pada penggunaan satwa dalam proses penelitian. Animal testing mayoritas bertujuan untuk menguji produk-produk terkait kesehatan, pangan, dan kosmetik. Dalam proses penelitian tersebut, tak jarang ada satwa yang mati. Bahkan ketika penelitian tersebut telah usai, satwa tersebut kemudian dibunuh untuk mencegah interaksi dengan satwa lain(1).

Satwa yang umum digunakan dalam animal testing adalah bangsa pengerat, seperti mencit, tikus, atau rodensia lain. Pada tahun 2001 di Inggris, tercatat ada sekitar 1.655.766 ekor mencit yang digunakan di animal testing. Selain itu, ada sekitar 8.273 ekor karnivora, termasuk anjing yang digunakan dalam animal testing tersebut. Selain satwa kelompok rodensia dan karnivora, satwa yang juga banyak digunakan untuk percobaan adalah primata. Mencit, tikus, dan rodensia lain yg digunakan untuk percobaan biasanya berasal dari pembiakan atau penangkaran. Sedangkan untuk primata pada umumnya masih banyak berasal dari alam liar(1).

Sebenarnya ada beberapa faktor pendukung mengapa produk yang kita gunakan terlebih dahulu dilakukan eksperimen kepada satwa. Salah satu alasannya adalah mengurangi efek keracunan pada manusia. Dengan adanya animal testing itulah kita dapat melihat apakah ada efek yang timbul pada satwa sehingga perusahaan pembuat produk bisa memperbaiki produk tersebut sehingga aman untuk digunakan oleh manusia. Animal testing ini didukung dengan fakta bahwa gen manusia dan simpanse memiliki 99% kesamaan dan penelitiannya mengungkapkan bahwa hanya 5%-25% dari obat yang diujikan pada hewan, hasilnya cocok dengan manusia(8).

Sejarah percobaan hewan dimulai pada abad ke-18 di Eropa. Pertama kali tikus mutan albino dibawa ke sebuah laboratorium untuk penelitian pada tahun 1828, dalam percobaan puasa. Selama 30 tahun kemudian tikus digunakan untuk beberapa eksperimen dan akhirnya laboratorium tikus menjadi binatang pertama yang dipelihara untuk alasan-alasan ilmiah murni(2).

Selama bertahun-tahun, tikus telah digunakan dalam banyak penelitian eksperimen, yang telah menambah pemahaman kita tentang genetika, penyakit, pengaruh obat-obatan, dan topik lain dalam kesehatan dan kedokteran. Laboratorium tikus juga terbukti berharga dalam studi psikologis belajar dan proses mental lainnya. Pentingnya sejarah spesies ini untuk riset ilmiah tercermin dengan jumlah literatur tentang itu, sekitar 50% lebih dari itu pada tikus(2). Banyak peneliti menganggap terdapat beberapa aspek perilaku dan fisiologi pada hewan contohnya tikus lebih relevan dengan manusia dan lebih mudah untuk mengamati daripada pada mencit dan yang ingin melacak pengamatan mereka berdasar gen(2).

Jutaan Hewan digunakan dalam animal testing dalam berbagai eksperimen- Critical Thinking

Hanya sebagian dari negara-negara yang melaporkan data terkait animal testing. Diperkirakan sebanyak 115 juta hewan setiap tahunnya digunakan atau meninggal dalam prosedur eksperimen di laboratorium(12).Terkait dengan banyaknya jumlah tersebut, Sejak tahun 2013, Uni Eropa telah melarang adanya animal testing khusus untuk produk kecantikan(14).Setelah Uni Eropa, negara lain mulai ikut berlomba untuk melarang prosedur animal testing, adapun negara-negara tersebut sebagai berikut:

Countries Where Animal Testing is Illegal

Khusus di UK sendiri, berdasarkan undang-undang perlindungan hewan tahun 1986 melindungi hewan bertulang belakang seperti Tikus, mamalia, ikan, dan burung yang digunakan di setiap proses uji coba laboratorium. Setiap prosedur uji coba dari hewan-hewan yang dilindungi wajib melaporkan ke Home Office(13)

Animal Research in Great Britain in 2017

Berdasarkan gambar diatas, ada sekitar 3,789 juta hewan yang dijadikan bahan percobaan untuk animal testing di Britania Raya pada tahun 2017. Dari angka tersebut, tidak semua eksperimen berhasil dilakukan. Sebagai akibatnya, banyak hewan dalam animal testing yang mengalami luka terbakar, iritasi, tumor, mutasi genetika, penyakit parah hingga kematian(8). Bahkan, statistik menunjukkan bahwa 50% dari hewan yang digunakan dalam pengujian kosmetik akan mati dalam waktu 2-3 minggu setelah percobaan(16).

Dari waktu ke waktu, jumlah hewan yang digunakan dalam penelitian terus meningkat dari tahun 1939 hingga pertengahan 1970, hingga mencapai puncaknya pada angka 5,5 juta eksperimen. Jumlah ini terus menurun hingga tahun 2000 dengan jumlah 2,6 juta eksperimen. Penurunan ini dikarenakan adanya perubahan metode uji coba dibandingkan tahun 1987, sebelum kembali meningkat mencapai angka 4 juta eksperimen pada tahun 2012. Hal yang unik adalah adanya peningkatan jumlah kelahiran dan penggunaan hewan dengan rekayasa genetika untuk kegiatan uji coba hewan dibandingkan dengan hewan yang tidak mengalami rekayasa genetika (15).

Trend Over Time of Animal Experiments

Dibalik kesuksesan NGO dan para aktivis untuk mengkampanyekan stop animal testing tersebut di beberapa negara. Masih cukup banyak negara yang melegalkan animal testing. Salah satunya adalah di China yang mewajibkan penggunaan animal testing untuk seluruh produk kosmetik asing yang ingin menjual produknya di china (4).

List produk kosmetik yang wajib menggunakan animal testing di China

Perdebatan Dilema etika dalam proses produksi kosmetik yang menggunakan experimen animal testing – Analytical Thinking

Menurut Asosiasi Dokter Hewan Amerika (American Veterinary Medical Association – AVMA) (5) 5 prinsip kesejahteraan hewan (Five Freedom Animal Welfare) meliputi:

Peningkatan kesadaran akan hak-hak hidup hewan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup mendorong perubahan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, termasuk penilaian terhadap perlakuan animal testing dalam pengembangan berbagai macam produk. Berbagai upaya turut digalakan oleh masyarakat dunia untuk mendorong penghentian penggunaan hewan sebagai eksperimen dalam menciptakan berbagai macam produk, termasuk di dalamnya adalah produk kosmetik. Salah satu diantaranya adalah Kampanye 3R(5): yaitu 3 prinsip etik penelitian hewan laboratorium meliputi sebagai berikut:

Pro dan kontra terhadap penggunaan Animal Testing di dunia sangatlah kompleks karena berkaitan erat dengan etika karena hal tersebut berhubungan dengan sudut pandang. Baik atau benarnya sebuah keputusan yang diambil akan mengerucut pada satu hal, yakni jika permasalahan tersebut tidak berdampak langsung kepada kita, maka kita sebagai pihak ketiga tentu dapat berpikir secara rasional. Namun, jika kita berada dalam posisi sebagai pihak yang terlibat, pasti akan memilih suatu pilihan yang akan menguntungkan diri kita sendiri. Begitu juga terkait permasalahan ethical clearance dalam animal testing.Kita berperan sebagai manusia yang berfikir rasional tentu menolak dan mengedepankan ego kita jika menggunakan manusia sebagai “kelinci percobaan”.Lain halnya dengan hewan, yang tidak bisa memilih untuk berkata tidak.

Animal testing dapat dikategorikan sebagai penyiksaan hewan terkait dengan bagaimana percobaan tersebut menyakiti hewan karena kebanyakan tidak sesuai dengan 5 Prinsip Kesejahteraan Hewan. Dilain sisi, animal testing memiliki dampak positif bagi kehidupan manusia dan memberikan rasa aman terhadap produk yang digunakan manusia karena produk tersebut telah teruji secara klinis.

Pro dan Kontra terhadap penggunaan Animal Testing di dunia sangat bervariasi. Bagi kelompok pendukung terhadap animal testing, mereka menyatakan bahwa penggunaan animal testing sangat mempengaruhi kehidupan dan berperan penting dalam kemajuan dunia medis. Ambil contoh pada abad ke-20, penelitian dengan menggunakan ekstrak pankreas atau yang biasa kita kenal insulin dari anjing yang ditemukan oleh Fredrick Grant mengubah hidup banyak orang. Dengan ditemukannya insulin, Frederick dapat mengobati penyakit diabetes melitus baik tipe 1 maupun tipe 2 sehingga dapat menyelamatkan jutaan kehidupan penderita diabetes diseluruh dunia. Selain itu, vaksin polio juga didapatkan melalui uji terhadap berbagai hewan dan melalui proses yang sangat panjang sebelum vaksin tersebut dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia disaat ini(6). Uji coba terhadap hewan juga akan lebih menguntungkan manusia karena manusia memiliki tingkat sensitifitas yang berbeda-beda. Ada kemungkinan ketika suatu suatu produk, misalnya kosmetik, ketika diujicobakan terhadap manusia, mungkin dapat menimbulkan banyak sekali masalah kulit dari yang ringan seperti iritasi bahkan hingga yang berat yakni keracunan bahkan dapat menyebabkan kematian.

Disisi lain, pihak yang kontra terhadap animal testing menyatakan bahwa penggunaan hewan dalam uji coba terhadap suatu produk termasuk di dalamnya adalah kosmetik merupakan pelanggaran terhadap kode etik hewan tersebut. Menurut Humane Society International, hewan dipaksa untuk makan berlebih, dipaksa untuk menghirup senyawa berbahaya untuk menguji apakah produk tersebut aman jika terhirup manusia, secara fisik dibiarkan untuk mengalami kelaparan dan dehidrasi selama berjam-jam karena hal tersebut merupakan prosedur dalam pengujian kesehatan hewan didalam laboratorium, dibakar bahkan beberapa dilaporkan patah pada bagian kepala dan leher bahkan dipenggal. Departemen Pertanian A.S. melaporkan bahwa 100.000 hewan merasakan sakit selama percobaan karena percobaan tersebut dilakukan tanpa anestesi sama sekali. Mata beberapa hewan seperti contohnya kelinci dipaksa terbuka selama beberapa jam dalam proses pengujian produk kosmetik(4).

Dilema dalam penggunaan animal testing sangat beragam. Termasuk dari sisi finansial, keuntungan jika menggunakananimal testing adalah terdapat penghematan anggaran uji coba laboratorium karena biayanya tergolong lebih murah. Selain itu, kita sebagai manusia bisa relatif aman mengkonsumsi obat ataupun menggunakan produk make-up karena sebelumnya telah teruji secara klinis dan dinyatakan aman. Dengan adanya animal testing, manusia akan semakin melestarikan hewan yang digunakan untuk percobaan tersebut dan merawatnya sehingga hewan tersebut minim resiko untuk mengalami kepunahan karena manusia sendiri tahu bagaimana harus menempatkan dan membatasi percobaan ini. Dilain sisi, terdapat juga kelemahan dari uji coba terhadap hewan tersebut seperti ada banyak perbedaan anatomi dan fisiologis antara hewan dengan manusia. Alhasil, tikus-tikus yang menjadi obyek eksperimen banyak mengalami tumor, ada sekitar 83% zat yang dicerna secara berbeda oleh hewan dan manusia. Bahkan jus lemon yang aman bagi manusia bisa menjadi racun mematikan bagi beberapa hewan. Sejumlah 40% pasien menunjukkan efek samping akibat menggunakan obat-obatan yang lulus pengujian pada hewan. Artinya, obat tertentu akan menimbulkan efek yang tak sama pada hewan dan manusia yang berarti pengujian terhadap hewan juga tidak terlalu efektif. Penggunaan anestesi juga ternyata tidak sepenuhnya menghilangkan rasa sakit dan penderitaan yang dialami hewan eksperimen, tetapi mereka tak memiliki kemampuan mengekspresikan rasa sakitnya(7).

Terdapat beberapa faktor pendukung mengapa produk-produk yang kita gunakan diuji coba ke hewan. Salah satu diantaranya adalah untuk mengurangi efek keracunan yang bisa dirasakan oleh manusia. Dengan adanya animal testing, kita dapat melihat efek apa saja yang timbul pada hewan tersebut. Animal testing ini didukung dengan adanya fakta bahwa gen manusia dan simpanse memiliki 99% kesamaan dan Penelitian mengungkapkan bahwa hanya 5% – 25% dari obat yang diujikan pada hewan, hasilnya cocok dengan manusia(8).

Sebagai contoh: hewan yang akan di uji coba adalah simpanse untuk mengetest skin care, beberapa tahapannya adalah sebagai berikut(8):

Mengurangi animal testing untuk meningkatkan image etika bisnis dalam dunia bisnis kosmetik.

Peningkatan kesadaran akan hak-hak hidup hewan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup mendorong perubahan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, termasuk penilaian terhadap perlakuan animal testing dalam pengembangan berbagai macam produk untuk menyelamatkan hewan-hewan tersebut. Maka dari itu, untuk tetap menciptakan nilai di masyarakat dan menciptakan keuntungan secara finansial bagi perusahaan, banyak perusahaan turut menciptakan ceruk pasar dan bahkan ikut serta dalam kampanyeupaya mencegah animal testing. Adapun kampanye dunia untuk mencegah penggunaan animal testing adalah dengan menciptakan simbol-simbol dalam setiap produk yang diproduksi untuk edukasi masyarakat/konsumen dimana dalam etika bisnis, konsumen sebagai stakeholder memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar tentang suatu produk sebelum akhirnya konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, baik dengan atau tanpa memperhatikan masalah etika dalam penggunaan animal testing. Berikut adalah simbol simbol dimaksud:

Animal Testing Free Symbol

Selain melalui simbol tersebut, masyarakat sebagai konsumen juga dapat mengetahui ada atau tidaknya animal testing dengan 3 cara sebagai berikut:

Logo pada produk kecantikan korea yang Free Animal Testing

Dari gambar diatas, terdapat 3 kriteria logo pada produk kecantikan korea, yaitu:

Selain dalam memperhatikan masalah etika terhadap suatu bisnis, Sebenarnya animal testing ini adalah metode yang sudah “kuno” dan tidakseakurat yang diperkirakan. Ada cara-cara lain yang bisa digunakan untuk eksperimen bahkan dapat dengan tingkat akurasi hingga >80%. Caranya adalah dengan menggunakan analisa pemodelan berbasis komputer. Metode uji coba menggunakan pemodelan kulit sintetis dimana setelah dipastikan aman akan dilanjutkan dengan menggunakan human volunteer.

Industi 4.0, Artificial Intelligence sebagai best practice. – Problem Sollution

Seperti dijelaskan sebelumnya penggunaan animal testing, selain dianggap sebagai permasalahan etik dalam prosesnya. Juga dianggap sebagai cara-cara yang sudah usang. Pergeseran nilai pada masyarakat, terkait hak-hak hewan dan lingkungan yang semakin meningkat, akan mendorong perubahan perilaku pada saat melakukan pembelian atau konsumsi suatu produk terutama dalam hal ini adalah produk yang sangat sensitif dan bisa disubtitusikan yaitu produk kosmetik.Bahkan berbagai investasi ditanamkan oleh para produsen kosmetik untuk mengurangi atau bahkan menggantikan peran animal testing dalam eksperimen pengembangan suatu produk kosmetik.

Pendekatan berbagai disiplin ilmu diperlukan dalam mengurangi animal testing dalam mendorong metode tradisional tersebut termasuk penelitian di bidang kesehatan dan biologi tentunya. Penggunaan simulasi komputer, modulasi dalam vitro testing secara umum sudah mulai dikembangkan dan diaplikasikan (9).

Pada era Iindustri 4.0 dimana Teknologi dan Artificial Intelligence berkembang semakin canggih telah menghasilkan upaya untuk mengisi gap antara in-vitro dan in-vivotechnology yang akhirnya menggantikan fungsi animal testing. Pada akhirnya penggunaan hewan dalam eksperimen dapat dikurangi. Kombinasi dalam teknologi memainkan peranan penting dalam mengurangi pengorbanan hewan, sehingga menciptakan produk obat, dan kosmetik saat ini bisa dilakukan oleh data-data elektronik yang dapat digunakan bersama dengan bioinformatics software (9).

Pemodelan 3D pada model kulit juga sudah mulai dikembangkan dengan mendekati hasil yang diharapkan, sehingga hasil yang diperoleh menjadi lebih baik(10). Kedepannya, berbagai macam pendekatan pemodelan artificial intelligence diharapkan akan mengurangi penggunaan hewan atau animal testingdalam menguji coba suatu produk.

Intinya adalah kemampuan untuk memprediksi outcome yang mungkin diperoleh saat eksperimen menggunakan Artificial Intelligence akan membuat sumberdaya yang digunakan semakin efisien dan mendekati keadaan sebenarnya. Contohnya adalah jika sebuah algoritma dapat digunakan untuk memprediksi risiko yang akan dialami seseorang yang selama ini sulit terdeteksi dengan cara yang biasa maka tentu akan menghasilkan peluang perbaikan. Selain itu Artificial Intelligence secara umum lebih reliable dan lebih efektif dibandingkan dengan penelitian oleh manusia(11) yang digunakan dalam animal testing.

Penggunaan Artificial Intelligence secara umum dalam dunia Industri adalah keniscayaan, termasuk di dalamnya adalah dunia industri obat dan kosmetik, sehingga diharapkan kedepannya proses eksperimen animal testing bisa ditiadakan dan diganti oleh pemodelan dan algoritma terukur yang bahkan memberikan hasil yang lebih akurat bagi pengembangan produk tersebut. Penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam industri obat dan kosmetik juga diharapkan akan menghilangkan permasalah etika yang menjadi permasalahan bersama. Selain itu, propaganda dan penggunaan teknologi AI dapat menjadi penambah kepercayaan konsumen terhadap suatu produk, selain karena tidak adanya animal testing, isu modernisasi dan keakuratan hasil produk sehingga menjadi produk yang dapat dipercaya oleh konsumen diharapkan akan meningkatkan nilai perusahaan secara umum di mata pelanggan.

Kewajiban menggunakan animal testing di beberapa negara seperti Tiongkok juga sebaiknya di–review ulang, Karena, selain animal testing tidak menampilkan hasil yang akurat dalam penelitian, penggunaan AI dapat memberikan hasil penelitian lebih valid, sehingga tingkat keamanan suatu produk obat atau kosmetik yang dilakukan melalui pemodelan AI lebih baik daripada animal testing.

DAFTAR PUSTAKA

(1)   http://www.profauna.org/content/id/aware/animal_testing_layakkah_untuk_satwa.htmlDiakses pada 21 Agustus 2019.

(2)   https://id.wikipedia.org/wiki/Tikus_laboratorium Diakses pada 21 Agustus 2019.

(3)   https://www.hsi.org/news-media/statistics/ Diakses pada 21 Agustus 2019.

(4)   https://www.crueltyfreekitty.com/cruelty-free-101/animal-testing-china/Diakses pada 21 Agustus 2019.

(5)  http://pusbindiklat.lipi.go.id/wp-content/plugins/download-monitor/download.php?id=95. Diakses pada 21 Agustus 2019.

(6)   https://sciencing.com/animal-testing-pros-cons-8012597.html. Diakses pada 21 Agustus, 2019.

(7)  https://www.hipwee.com/feature/kekejaman-hewan-sering-jadi-prosedur-standar-ini-sisi-gelap-di-balik-pembuatan-obat-kosmetik-kita/. Diakses pada 21 Agustus 2019.

(8)  https://desmonicc.wordpress.com/2017/07/30/alasan-kenapa-kamu-harus-menggunakan-produk-cruelty-free/Diaksespada 21 Agustus 2019.

(9)   Rai, Jagdish; Kuldep Kaushik: Reduction Animal Sacrifice in Biomedical Science

Bella

Hi, saya Bella Sungkawa. Saya suka menulis artikel terutama tentang Fashion dan Kecantikan. Please contact me if you want to suggest something or just to say Hi! Yonulis adalah platform yang dibuat oleh Bella Sungkawa untuk menginspirasi dan mendorong orang untuk menulis. Temukan tip menulis, petunjuk, dan lainnya di Yonulis hari ini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button